BisnisNTB, Mataram - Pengamat Ekonomi dari Universitas Mataram Firmansyah mengatakan, fenomena hiperinflasi membayangi perekonomian jika berbagai sumber inflasi terus bergerak naik.
“Perekonomian akibat Covid-19 masih belum sepenuhnya pulih. Ditambah dampak dari perang Rusia dan Ukraina sehingga banyak negara menunda ekspor produknya. Belum lagi adanya rencana kenaikan harga bahan bakar dan pajak oleh Pemerintah. Sehingga ancaman dari hiperinflasi bisa saja terjadi," katanya, Kamis (18/8/2022).
Provinsi NTB sendiri,faktor inflasi yang paling mendominasi adalah tingginya harga tiket pesawat. Artinya, sektor yang paling keras mendapat hantaman adalah merosotnya tingkat kunjungan wisata.
“Karena harga tiket pesawat yang terus naik akibat bahan bakar yang meningkat, biaya-biaya lain juga turut naik akhirnya orang berpikir ulang melakukan perjalanan. Padahal ekonomi NTB pondasinya di sektor Pariwisata,” terang Firmansyah.
Sumber inflasi lainnya, lanjut dia, karena beberapa bahan baku, barang dan jasa di NTB masih mengandalkan dari luar daerah. Sementara perang Rusia dan Ukraina terus terjadi menyebabkan pembatasan impor dari sejumlah negara. Akibatnya, pasokan bahan baku dalam daerah menipis dan berdampak pada harga yang kian naik.
"Seperti kedelai atau produk lain yang masih mengandalkan dari luar sebagai bahan baku atau bahan penolong," ungkap Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mataram ini.
Disisi lain, kata dia, hiperinflasi juga disebabkan oleh adanya cost push inflation yakni inflasi yang ditimbulkan oleh biaya produksi. Biasanya inflasi ini dari kenaikan dari bahan baku atau bahan bakar dari Industri. Sehingga akan meningkatkan harga barang yang diproduksi.
“Yang menjadi persoalan adalah barang dan jasa yang memang masih bersumber dari luar. Oleh karena itu antisipasi dari pemerintah yang paling penting adalah memastikan kebutuhan bahan pokok terpenuhi,” tambahnya.
Melihat kondisi tersebut, tidak ada salahnya jika Pemerintah NTB melakukan mitigasi atau antisipasi terhadap kemungkinan jika terjadi hiperinflasi. Setidaknya, pemerintah harus memastikan kebutuhan pokok masyarakat terpenuhi beberapa waktu ke depan.
"Walaupun terjadi gonjang ganjong dalam perekonomian, tetapi kalau kebutuhan dasar masyarakat masih bisa terpenuhi maka secara sosial/politis inflasi masih relatif stabil," jelas Firmansyah.
Dari aspek moneter pun perbankan khususnya bank central harus mencari jalan dengan memanfaatkan berbagai macam instrument untuk menstabilkan inflasi. Meskipun efektifitasnya belum bisa terjamin.
"Kekuatan yang dibutuhkan daerah saat ini semua instrument pengendali harga harus digunakan semua. mulai dari instrument fiskal, moneter. Fiskal tentu mengatur pembelanjaan pemerintah dalam APBD/APBN," kata dia.
Selain itu, pemerintah juga harus memastikan ketersediaan dan rantai pasok bahan pokok seperti beras, minyak goreng dan lauk pauk aman. Termasuk TPID, mesti melakukan kajian terhadap rantai mana yang paling besar sumbang inflasi sehingga bisa diantisipasi lebih awal.
“Estimasi inflasi ini memberikan rasa aman bagi pasar jangan sampai ada fenomena punic buying lagi, padahal kondisi pasokan stabil," katanya.
"Itu yang perlu dijaga, karena biasanya informasi atas tidak tersedianya barang akan mempercepat terjadi inflasi,” tandas Firmansyah. (yoo)