Ini Tanggapan Air Asia Terkait Mahalnya Tiket


BisnisNTB.COM,Mataram - Maskapai penerbangan AirAsia turut menanggapi atas melambungnya harga tiket pesawat terbang. Kenaikan harga bahan bakar pesawat yakni Avtur menjadi faktor utama penyebab harga tiket pesawat masih mahal. Hal ini tak hanya dirasakan AirAsia melainkan semua maskapai penerbangan. 

"Yang pertama kan memang bahan bakar ini yang naik, kalau dirata-ratakan biaya operasional yang dikeluarkan maskapai sekitar 40 persen dihabiskan untuk bahan bakar. Bahan bakar naik otomatis (biaya operasional) naik," ucap Head of Government Relations PT Indonesia AirAsia Eddy Krismeidi Soemawilaga, kemarin Kamis (4/8). 

Diakui, masifnya keinginan untuk turunnya harga tiket dirasakan cukup sulit. Kembali lagi kepada bahan bakar Avtur yang penentu kebijakannya adalah pusat. Sementara harga Avtur bagi maskapai penerbangan di setiap bandara berbeda-beda. 

Ia menjelaskan, harga Avtur yang ditetapkan untuk Bandara Internasional Lombok dengan Bandara Soekarno-Hatta ternyata berbeda dengan selisih hampir Rp 1.200 per liter. Sementara kebutuhan Avtur yang diperlukan dari Jakarta-Lombok sebanyak 6.000 liter. Dengan frekuensi penerbangan AirAsia sehari dua kali untuk rute Jakarta-Lombok. 

"Bayangkan selisih Rp 1.200 per liter dikalikan dua kali penerbangan sudah Rp 2.400 per liter, artinya ada Rp 14 juta lebih selisih per hari, bagaimana seminggu, sebulan dan setahun kedepan," kata pria berkulit putih ini. 

Tingginya selisih ini, kata Eddy, maskapai berharap ada penyetaraan harga Avtur untuk seluruh bandara di Indonesia yang mengacu pada bandara di Cengkareng, Jakarta. 

"Inikan bisa membantu pihak airlines kalau sama harganya, karena maskapai ini memiliki resiko kerusakan cukup tinggi," terang Eddy. 

Selain kenaikan harga avtur, sambungnya, kenaikan harga tiket dilakukan untuk menutupi biaya operasional selama pandemi Covid-19. Artinya, selama vakum itu ketersediaan maskapai pesawat terbatas. Untuk AirAsia saja, dari total 28 pesawat yang dimiliki, pasca pandemi baru 13 pesawat yang beroperasi. 

"Maskapai juga terkendala dengan meningkatnya biaya Passenger Service Charge (PSC), untuk Lombok saja dari Rp 60 ribu kini naik Rp 106 ribu. Sehingga perlu didorong (pengurangan biaya, red)," kata pria berkacamata ini. 

Eddy tak menampik, pasca pandemi Covid-19 permintaan masyarakat untuk bepergian menggunakan pesawat justru meningkat. Sayangnya, tak sedikit maskapai penerbangan mengalami keterbatasan jumlah karena ada sebagian yang tak berfungsi atau beroperasi. 

"Demand orang bepergian ini tinggi baik domestik maupun mancanegara, khususnya domestik datanya trafiknya tinggi," ungkapnya. 

AirAsia pun berharap, pemerintah dapat memimpin pemulihan yang fair untuk seluruh maskapai penerbangan. Mulai dari network, stimulus pajak, insentif pariwisata dan harga bahan bakar yang kompetitif. 

"Terlebih menjelang event internasional akhir tahun ini, diharapkan ada insentif PSC dari Kementerian Perhubungan RI untuk destinasi super prioritas. Kalau ini bisa dibuka lagi, bisa membantu peningkatan traffik dengan sendirinya," pungkas Eddy. 

Seperti diketahui, berdasarkan data BPS NTB bulan Juli 2022 faktor utama penyumbang inflasi dari sektor Transportasi Angkutan Udara mencapai 4,19 persen. (BS1/Yoo)