Sektor Pertanian Masih Menyumbang Kemiskinan Ekstrem di NTB




BisnisNTB,Mataram-Pemerintah pusat menargetkan penurunan kemiskinan ekstrem di sektor pertanian menjadi nol persen. Sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan yang memuat komitmen global untuk menghapuskan kemiskinan ekstrem pada tahun 2030 mendatang. 


Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) ditugaskan untuk memimpin upaya percepatan penanggulangan kemiskinan ekstrem menjadi nol persen pada tahun 2024. Artinya enam tahun lebih cepat daripada sasaran global dalam pembangunan berkelanjutan. 


Pada tahun 2021 lalu, tingkat kemiskinan ekstrem di Indonesia adalah empat persen atau berjumlah 10,86 juta jiwa. Yang merupakan bagian dari tingkat angka kemiskinan nasional menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2021 sebesar 10,14 persen atau berjumlah 27,54 juta jiwa. 


Upaya pemerintah untuk dapat menurunkan kemiskinan ekstrem hingga nol persen pada tahun 2024, merupakan tantangan yang sangat berat. Apalagi penurunan kemiskinan merupakan hasil akhir dari seluruh proses pembangunan nasional. Artinya, kinerja pembangunan secara keseluruhan adalah kunci utama penurunan tingkat kemiskinan termasuk kemiskinan ekstrem. 


Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) NTB Iswandi mengatakan, untuk mempercepat penurunan kemiskinan ekstrem di sektor pertanian adalah dengan transformasi atau penambahan skill/keterampilan bagi petani. Misal, petani yang notabene hanya menanam padi turut serta untuk beternak hingga berdagang. 


"Disini kita NTB sudah tepat dengan kembangkan desa wisata, dimana menggandeng sektor pertanian bersama sektor jasa. Seminar ini menguatkan bahwa kebijakan-kebijakan yang sudah kita ambil dan diimplementasikan di daerah akan dapat menyasar kelompok-kelompok miskin khususnya kemiskinan ekstrem di pertanian," kata Iswandi usai menghadiri Seminar Nasional Kemiskinan Ekstrem di Sektor Pertanian, di Hotel Lombok Astoria, Kota Mataram, Selasa (19/07/2022). 


Iswandi tak menampik, persoalan di lapangan kerap terjadi data yang tak sesuai bagi penerima bantuan sosial kemiskinan. Bahkan diakui secara nasional. Sehingga diperlukan akselerasi terhadap seluruh sektor terutama di luar sektor pertanian. 


"Jadi harus ada upaya untuk semua di luar sektor pertanian yang ikut mengintervensi penurunan kemiskinan, penyaluran berdasarkan data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS). Sudah masuk DTKS apa belum, ini maksudnya," jelasnya. 


"Saya rasa pemuktakhiran dan validasi data ini terus dilakukan," tambah Iswandi. 


Menyinggung posisi NTB yang berada di delapan besar provinsi miskin secara nasional, diakui Iswandi, menjadi cambuk semangat dalam menurunkan angka kemiskinan. Dimana Provinsi NTB menargetkan penurunannya di bawah 10 persen. 


"Optimisme kita kalau dapat mengakselerasi sasaran-sasaran maka semua harus serius, dari pusat ke tingkat provinsi hingga kabupaten/kota," tandasnya. 


Tim Ahli TKPK NTB Dr Iwan Harsono mengatakan, apa yang menjadi hajatan pemerintah pusat disambut baik Pemprov NTB. Sementara kondisi kemiskinan ekstrem di NTB berada pada 5,7 atau hampir 6 pada skala 10 pada tahun 2020. Sementara secara nasional mencapai 3,7 persen. Kemudian pada tahun 2021, kondisi kemiskinan secara nasional di atas 4 persen, sedangkan NTB berhasil turun pada posisi 4 persen di tahun 2021.


"Artinya ada celah optimis NTB bahwa kita bisa menurunkan hingga dua persen saat pandemi," katanya. 


Lantas langkah apa yang bisa kita lakukan untuk mencapai target kemiskinan ekstrem di sektor pertanian? Kata dia, dilakukan perbaikan kinerja pada sektor pertanian. Artinya, porsi APBD harus lebih banyak diarahkan ke sektor pertanian. Serta harus ada upaya peningkatan serius untuk meningkatkan pendapatan sektor ini. Melalui industrialisasi sektor pertanian. 


"Tapi percuma juga jika anggaran kemiskinan ini banyak, namun jika masih ada pembagian merata maka tidak akan turun-turun angka kemiskinan ini," ungkap akademisi dari Universitas Mataram ini. 


Pada kesempatan itu, Iwan turut menyinggung soal tenaga pendampinh yang melakukan pendataan. Dari informasi yang diperolehnya, mereka hanya mendapat gaji tak lebih dari Rp 300 ribu. Sangat tidak mencukupi sehingga perlu juga diberikan peningkatan kesejahteraan bagi pendamping. 


"Kalau digaji segitu (sedikit) kan gak serius orang data-data, untuk mendata ini kasih dia bila perlu Rp 2 juta agar tidak kerjakan yang lain, kan semangat mereka," terangnya. 


Menjadi kunci sekarang, sambung Iwan, maukah pemerintah menambah atau memperbanyak porsi anggaran penanggulangan kemiskinan di NTB? Sebab, untuk menurunkan angka kemiskinan harus ada komitmen serius atau keberpihakan dari sisi anggaran. 


"Anggaran itu juga tidak hanya banyak atau tidak, tapi juga harus efisien atau tidak, katanya. 


Berdasarkan data penelitian yang dilakukan Iwan Harsono, persentase penduduk miskin ekstrem dan derajat otonomi fiskal yang baik ada di Kota Bima dan yang parah adalah Kabupaten Lombok Utara. 


Dimana dengan porsi fiskal Kota Bima yang dibawah 10 persen, mampu membawa persentase penduduk miskin ekstrem kurang dari dua persen. Sementara Lombok Utara, porsi fiskal di bawah 25 persen namun persentase penduduk miskin ekstrem di bawah 18 persen. 


"Sedangkan yang lain kisaran empat hingga sepuluh persen untuk persentase penduduk miskin ekstrem, dimana tertinggi Kota Mataram porsi fiskalnya di bawah 30 persen," pungkas Iwan. (BS01/DW)